Perikanan di indonesia
khususnya budidaya pertambakan secara intensif dikembangkan lewat suatu program
yang terarah baru diawali pada tahun 1980. Berarti dibandingkan dengan
pertanian yang diawali sejak tahun 1969, perikanan masih jauh tertinggal.
Puncak keberhasilan dari program pencanangan ini baru dinikmati pada tahun 1990
sampai 1994, pada dekade inilah mulai dari petambak tradisional sampai
pengusaha besar perikanan khususnya tambak udang windu menuai hasilnya dan
sektor non migas indonesia mulai bergeser ke arah perikanan laut sebagai
primadona eksport.
Lepas tahun 1994,
ternyata ada kecenderungan terjadinya penurunan produksi udang dari hasil
budidaya secara terus menerus. Dari total produksi sebesar 120.000 pada tahun
1994, mengalami penurunan yang sangat drastis sampai 50,000 ton pada tahun 1998
dengan rata-rata produksi per hektarnya 400 kg. Jika kita menilik dari produksi
negara tetangga kita, ternyata kita sangat jauh tertinggal , buktinya mereka
kini bisa menghasilkan rata-rata sampai 1,5 ton perhektar dalam satu tahun.
Sebelum tahun 1994
para petambak masih bisa merasakan hasil panen yang cukup tinggi dari lahan
tambaknya bahkan sampai tahun 1996 mereka masih bisa bernafas, tetapi setelah
tahun 1998 sampai sekarang ternyata mereka merasakan benar penurunan produksi
yang sangat drastis. Dengan melihat kondisi tersebuttentunya menjadi pertanyaan
besar di masing-masing benak kita semua, mengapa hal ini terjadi?
Setelah lewat penelitian dan pengkajian
lapangan secara intensif, ternyata banyak hal yang mendukung terjadinya
penurunan produksi ini, yaitu :
- Menurunnya daya dukung lahan (Carriying Capasity) secara terus menerus.
- Terjadinya pencemaran lahan tambak dan air laut yang cukup tinggi.
- Iklim yang tidak menentu.
- Dukungan tehnologi dan budaya masyarakat yang kurang.
- Padat Benur / benih yang terlalu tinggi.
- Kualitas benur yang jelek.
1. Menurunya daya dukung lahan secara terus
menerus
Hal ini sebagai akibat dari :
- Pemaksaan
/ eksploitasi lahan secara terus menerus oleh sebagian besar komponen yang
membudidayakan lahan tambak. Mulai dari petambak yang memiliki lahan
pribadi sampai industri-industri petambak besar, baik yang mengelola
secara tradisional sampai intensif. Kecenderunganya adalah lahan dipaksa
terus berproduksi tanpa diselangi dengan jarak antara dalam setiap
musimnya (lahan tidak sempat istirahat)
- Pengolahan
lahan tambak yang jelek, khususnya pada saat persiapan lahan. Karena
mengejar situasi sesaat, misalnya harga jual yang tinggi, sehingga tanpa
mempertimbangkan kondisi lahanya, mereka langsung melakukan budidaya untuk
musim / siklus berikutnya. Di sini biasanya beberapa hal yang menyangkut
upaya perbaikan lahan. Misalnya pengeringan, pengangkutan lumpur hitam,
pengapuran, dan pembajakan tidak dilakukan.
Dua Poin diatas sama
dengan memaksakan kondisi lahan yang belum siap untuk dikejar produksinya. Jika
hal tersebut dilakukan secara terus menerus pada setip musim budidaya, maka
kita membiarkan anak cucu dan 2 generasi setelah kita hanya menikmati sisa-sisa
dari sumberdaya alam tambak kita, Bahkan untuk menikmati udang dengan jumlah
yang cukup, mereka harus mendatangkan dari luar negeri.
2. Terjadinya Pencemaran lahan tambak dan air
laut yang cukup tinggi
Sebagai akibat dari :
- Buangan
limbah air budidaya selama operasional. yang mengandung konsentrasi
tinggi dari limbah organik dan nutrien sebagai konsekuensi dari masukan
bahan-bahan yang ditambahkan dalam budidaya udang / bandeng yang
menghasilkan sisa pakan dan faeces yang terlarut dalam air untuk kemudian
dibuang ke perairan sekitarnya.
- Limbah-limbah
pabrik yang bermuara ke laut. disini yang perlu dikritisi adalah dengan semakin
banyaknya areal industri yang dekat dengan laut dan sungai, maka akan
semakin besar resiko dan pengaruh limbah yang yang terbuang untuk
mencemari lahan-lahan dan perairan laut kita. Meskipun sudah ada kriteria
AMDAL bagi industri-industri tersebut, tetapi jika tidak diimbangi dengan
adanya pemetaan prioritas lahan lokasi industri, dan pengawasan secara
kontinyu untuk mengukur kualitas limbah buanganya, maka secara akumulasi kedepan
akan semakin memperbanyak permasalahan di ekosistem pertambakan kita.
- Residu
pestisida dari areal pertanian. Dengan ketergantungan terhadap pemakaian
pestisida yang cukup tinggi untuk memberantas hama, penyakit dan gulma
oleh petani di lahan-lahan pertanian kita sampai saat ini, maka secara
akumulatif seiring dengan waktu yang berjalan akan semakin memperbesar
tingkat pencemaran lahan-lahan dan perairan tambak kita. Bahan-bahan
pestisida tersebut sebagian besar merupakan bahan kimia yang sulit didegradasi
(dipecahkan) dan dinetralisir. Sehingga residu yang dibawa oleh aliran air
sungai dari hulu secara akumulasi akan terbawa ke muara. Jika residu
pestisida ini terbawa sampai masuk ke lahan-lahan tambak, maka akan
terjadi pencemaran air dan tanah di lahan tersebut akibat residu bahan
bahan-bahan kimia yang masih terlarut di air atau yang terpresipitasi
(terendapkan) ke lahan/tanah. Kondisi ini akan berlangsung secara terus
menerus jika pemahaman tentang konsep pertanian organik tidak dilakukan
secara komprehensif (menyeluruh), mulai dari tingkat akar rumput petani
sampai masyarakat elit negeri ini.
- Bahan-bahan
kimia sebagai desinfektan (sterilisasi) air tambak dan untuk tujuan lain
(contoh.membunuh pemakaian ikan dan plankton)Sebagian besar
industri-industri tambak di negara kita ini masih banyak menggantungkan
keberhasilan dalam berbudidaya tambak dengan menggunakan bahan-bahan kimia
sebagai alat untuk sterilisasi air, membunuh kepiting, udang liar, ikan,
ataupun plankton yang berlebihan. Memang untuk tujuan jangka pendek guna
mengejar produksi sesaat, cara-cara ini sangat membantu, Tetapi dalam
jangka panjang kedepanya, kita semua sering tidak menyadari bahwa
cara-cara ini sangatlah berbahaya. Efek yang ditimbulkanya jauh lebih
berbahaya jika dibandingkan dengan tujuan jangka pendek tersebut, karena
jika kondisi lahan-lahan kita sudah rusak, perlu energi, waktu, dan dana
yang cukup besar untuk merehabilitasi lagi. Bahan-bahan yang biasanya
diberikan adalah :
- Pestisida-pestisida
untuk membunuh bakteri, protozoa, jamur dan udang atau kepiting liar yang
merugikan udang, contohnya nuvan, tiodan, crustacide, kaporit/klorin,
dsb.
- Bahan-bahan
kimia untuk mematikan plankton jika terjadi booming atau air yang menyala
(karena plankton Dynoflagellata yang mengandung phospor), contohnya :
Benzal Koniumclorite (BKC), dsb.
- Bahan-bahan
kimia yang digunakan untuk merangsang udang untuk molting (ganti kulit)
dan membersihkan perairan dari beberapa mikroorganisme yang menyebabkan
udang kotor. Contohnya Formalin, dsb.
3. Iklim yang Tidak Menentu
4. Dukungan tehnonogi dan Budaya masrakat yang
kurang
- Kurangnya
bimbingan dan pembinaan.
- Kualitas
Sumber Daya Manusia.
- Budidaya
pasrah tehadap nasib.
5. Padat benur terlalu tinggi.
6. Kualitas
benur yang jelek.
Sumber :
http://www.viternaplus.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar